Friday, October 28, 2011

Sepatu Boot: Pilihan Mencegah Penularan Schistosomiasis

Shcistosomiasi tidak dapat dianggap remah. Harus mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat dan juga pemerintah serta seluruh pihak. Salah satu langkah tepat dalam mencegah penularan schisto ialah dengan menggunakan sepatu boot.
Seseorang yang menggunakan sepatu boot sudah bisa dipastikan terlindungi dari cacing tersebut. Cacing berbahaya itu, tidak akan bisa masuk ke dalam pori-pori atau kulit kaki. Sehingga akan lebih aman bagi seseorang untuk beraktifitas di tempat-tempat berbahaya atau lembab, khususnya bagi petani yang ada di Bada.
Selain menggunakan sepatu boot, cara mengantisipasi penyebaran schisto ialah dengan melakukan pembabatan di titik-titik spot cacing itu berkembang biak. Dengan melakukan pembabatan, diharapkan tempat tersebut akan mendapatkan sinar matahari yang banyak. Sehingga, dapat mengurangi kelembapan tempat tersebut. Dalam hal ini cacing schisto, tidak mampu bertahan hidup di daerah atau tempat yang terkena sinar matahari yang banyak.
Namun, kenyataannya penggunaan sepatu boot dan pembabatan masih jarang dilakukan secara baik oleh masyarakat. Khususnya untuk penggunaan sepatu boot, masyarakat lebih memilih untuk tidak menggunakannya saat beraktifitas di sawah atau dikebun mereka. Belum lagi permohonan sepatu boot kepada pemerintah hingga saat ini belum ada realisasinya. Keterangan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan sejumlah warga.
Selain kedua hal tersebut, saat ini juga dilakukan pengobatan masal terhadap masyarakat Lore Barat (Bada). Pengobatan tersebut dilakukan enam bulan sekali. Sejauh ini, sudah dua kali dilakukan pengobatan dan pada bulan Desember 2011 akan dilakukan kembali pengobatan masal sekaligus pemeriksaan tinja. Hal ini bertujuan untuk memperoleh data terbaru mengenai perkembangan infeksi cacing tersebut terhadap masyarakat.

Thursday, October 27, 2011

Ancaman Schistosomiasis terhadap Masyarakat Bada

Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Ada tiga spesies Schistosoma yang ditemukan pada manusia, yaitu: Schistosoma japonicum, S. haematobium dan S. mansoni.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Rosmini, Soeyoko, dan Sri Sumarni, di Indonesia schistosomiasis disebabkan oleh Schistosoma japonicum ditemukan endemic di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu dan Dataran Tinggi Napu. Secara keseluruhan penduduk yang berisiko tertular schistosomiasis (population of risk) sebanyak 15.000 orang2. Penelitian schistosomiasis di Indonesia telah dimulai pada tahun 1940 yaitu sesudah ditemukannya kasus schistosomiasis di Tomado, Dataran Tinggi Lindu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigibiromaru, Sulawesi Tengah pada tahun 1935. Pada tahun 1940 Sandground dan Bonne mendapatkan 53% dari 176 penduduk yang diperiksa tinjanya positif ditemukan telur cacing Schistosoma.

Pemberantasan schistosomiasis telah dilakukan sejak tahun 1974 dengan berbagai metoda yaitu pengobatan penderita dengan Niridazole dan pemberantasan siput penular (O. hupensis lindoensis) dengan molusisida dan agroengineering. Kegiatan pemberantasan schistosomiasis secara intensif dimulai pada tahun 1982. Pemberantasan pada awalnya dititikberatkan pada kegiatan penanganan terhadap manusianya yaitu pengobatan penduduk secara masal yang ditunjang dengan kegiatan penyuluhan, pengadaan sarana kesehatan lingkungan, pemeriksaan tinja penduduk, pemeriksaan keong penular dan tikus secara berkala dan rutin. Hasil pemberantasan tersebut mampu menurunkan prevalensi schistosomiasis.
Perjalanan kali ini menuju Bada bertujuan untuk mengetahui peran lembaga-lembaga di masyarakat terhadap penanganan infeksi schisto. Karena selama ini, penanganan masalah infeksi cacing tersebut hanya melalui pengobatan. Lembaga-lembaga sosial yang ada kurang dimanfaatkan dengan baik. Bada sendiri merupakan wilayah lembah yang terletak di wilayah Kabupaten Poso. Wilayah yang terdiri dari Kecamatan Lore Barat, Kecamatan Lore Selatan dan Kecamatan Lore Tengah ini merupakan daerah pegunungan cukup dingin. Keadaan tersebutlah yang menjadi pendukung berkembangnya schisto.
Masyarakat yang awam terhadap schisto, memberikan fakta bahwa begitu berbahanya siput tersebut begi mereka. Selama ini sosialisasi mengenai schisto sudah sangat dilakukan. Akan tetapi dari hasil wawancara yang kami lakukan, mereka belum tau betul akan cacing tersebut.
Schistosomiasis sendiri merupakan hewan yang menginfeksi manusia melalui kulit. Dalam hal  ini, cacing tersebut akan masuk ke dalam pori-pori kulit. Bersama aliran darah, cacing tersebut menuju jantung dan hati. Di hati manusialah cacing itu hidup dan berkembang, sampai membuat si penderita kurus, lemah, dan akhirnya meninggal. 
Saat seseorang terinfeksi oleh schisto, maka kemungkinan besar penduduk lain terinfeksi juga besar. Caranya bagaimana? Mari kita lihat, saat seseorang positif terinfeksi, maka cacing tersebut hidup dan mengerogoti tibuh  si penderita. Saat si penderita membuang kotoran (vases), maka telur dan cacing tersebut berada di dalam vases si penderita. Kehidupan masyarakat yang belum menerapkan sanitasi pembuangan yang baik, dapat mendukung penularan cacing tersebut. Tanpa sadar, seseorang menginjak kotoran tersebut, maka orang itu sudah bisa dipastikan akan terinfeksi. Belum lagi, banyak masyarakat yang buang hajat di sungai. Sementara sungai sangat umum digunakan untuk mandi dan mencuci oleh masyarakat desa. Maka, akan semakin besar kemungkinan masyarakat tertular cacing tersebut.
Tidak hanya itu, dari binatang juga dapat menyebabkan manusia tertular. Binatang yang terinfeksi schisto, jika buang kotoran dan kotoran itu terinjak oleh masyarakat tanpa menggunakan alas kaki, maka kemungkinan besar masyarakat itu akan terinfeksi. Dari pengamatan, bahwa masyarakat Bada yang didominasi oleh umat kristiani memelihara babi di rumah mereka. Babi-babi peliharaan tersebut dibiarkan berkeliaran begitu saja. Dan sudah bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika babi-babi tersebut terlah memiliki schisto di tubuhnya.